JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua anggota DPR RI sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait penyaluran dana bantuan sosial dari Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Keduanya adalah HG, anggota Komisi XI DPR RI periode 2024–2029, dan ST, anggota Komisi XI DPR RI periode 2019–2024. Penetapan tersangka dilakukan setelah penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup sejak Desember 2024.
Komisi XI DPR RI diketahui memiliki kewenangan strategis dalam pembahasan dan pengesahan anggaran BI dan OJK. Setiap tahun, pada bulan November, Komisi XI menggelar rapat tertutup untuk membahas usulan anggaran dari kedua lembaga tersebut. HG dan ST merupakan bagian dari panitia kerja (panja) yang membahas pendapatan dan pengeluaran BI dan OJK selama tahun anggaran 2020 hingga 2022.
Dalam rapat tertutup tersebut, disepakati bahwa BI dan OJK memberikan dana program sosial kepada masing-masing anggota Komisi XI. Dana tersebut disalurkan tidak secara langsung, melainkan melalui yayasan yang dikelola atau ditunjuk oleh anggota DPR.
BI mengalokasikan kuota sekitar 10 kegiatan per tahun, sedangkan OJK menganggarkan 18 hingga 24 kegiatan program sosial setiap tahunnya. Dana yang diajukan dan dicairkan dikelola oleh tenaga ahli anggota Komisi XI, sementara implementasi kegiatan—seperti renovasi rumah tidak layak huni (rutilahu)—dilaporkan secara administratif.
Namun, KPK mengungkap bahwa sebagian besar kegiatan sosial tersebut fiktif atau hanya sebagian dilaksanakan. Dalam salah satu temuan, dari 10 rumah yang diajukan sebagai sasaran rutilahu, hanya 2 rumah yang benar-benar direnovasi. Foto-foto rumah lain dipakai sebagai dokumentasi fiktif demi laporan pertanggungjawaban.
HG diduga mengelola dana bansos melalui empat yayasan dan menerima total Rp14,27 miliar, dengan rincian Rp6,63 miliar dari BI dan Rp7,64 miliar dari OJK. Dana tersebut kemudian dicuci melalui transfer ke rekening pribadi, serta digunakan untuk membeli tanah dan bangunan, kendaraan, membangun rumah makan dan outlet minuman.
Sementara itu, ST menggunakan delapan yayasan untuk menyalurkan dana program sosial dan menerima dana sebesar Rp12,5 miliar—Rp6,3 miliar dari BI dan Rp5,14 miliar dari OJK, serta sebagian dari mitra Komisi XI lainnya. Modus pencucian uang yang dilakukan termasuk penempatan dana di deposito, pembelian tanah, showroom kendaraan, dan aset lainnya. ST juga merekayasa transaksi melalui Bank Pembangunan Daerah (BPD) guna menghindari deteksi dari PPATK.
Dalam pengakuannya kepada penyidik, ST menyebut bahwa seluruh anggota Komisi XI DPR RI menerima bantuan sosial serupa, yang kini menjadi fokus pendalaman oleh KPK. Lembaga antirasuah juga menelusuri lebih jauh motif dan skema pemberian dana sosial oleh BI dan OJK kepada para legislator.
Diketahui, dua nama yang telah diperiksa oleh KPK dalam kasus ini adalah Heri Gunawan dari Partai Gerindra dan Satori dari Partai NasDem.
Kasus ini menambah daftar panjang praktik penyimpangan dalam pengelolaan anggaran sosial oleh lembaga negara, serta menyoroti pentingnya reformasi tata kelola dana hibah dan bantuan sosial agar tidak menjadi celah korupsi terselubung.
#kontan #kontannews #kontantv #kontannewmedia #newmedia #newmediakontan #Korupsi #TPPU #BankIndonesia #OJK #KejaksaanAgung #KasusKorupsiBI #ProgramSosialBI #ProgramSosialOJK #TindakPidanaPencucianUang #KonferensiPers #PenegakanHukum #DanaSosial #KorupsiIndonesia #PemberantasanKorupsi #JaksaAgung