JAKARTA – Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memperingatkan risiko perlambatan ekonomi global akibat fragmentasi perdagangan internasional, meningkatnya ketegangan geopolitik, serta ancaman penerapan kembali tarif timbal balik antarnegara besar, khususnya Amerika Serikat dan Tiongkok.
Dalam peluncuran Global Trade Outlook and Statistics Report terbaru, Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala, (16/4) menyampaikan proyeksi penurunan volume perdagangan barang global sebesar 0,2% pada tahun 2025, atau turun hamper 3 poin persentase dibandingkan dengan skenario tanpa gejolak kebijakan.
Namun ada risiko tambahan seperti penerapan tarif baru dan ketidakpastian kebijakan bisa memangkas pertumbuhan hingga ke kisaran nol hingga minus 0,8%.
“Perdagangan AS-Tiongkok mengalami penurunan drastis, dan jika pemisahan ekonomi ini terus meluas, dampaknya akan menjalar ke seluruh dunia,” ujar Okonjo-Iweala, seraya menambahkan bahwa tanpa pengecualian untuk produk tertentu seperti smartphone, perdagangan barang antara kedua negara bisa jatuh hingga 91%.
WTO mengkhawatirkan munculnya dua blok ekonomi global yang terisolasi, yang dapat mengakibatkan kontraksi produk domestik (PDB) global hingga 7% dalam jangka panjang. Negara-negara berkembang, terutama yang paling tidak berkembang (LDC), disebut akan menderita kerugian kesejahteraan dalam angka dua digit jika skenario fragmentasi ini menjadi kenyataan.
Afrika dan Negara Berkembang Paling Rentan
Dalam sesi pemaparan, Kepala Ekonom WTO Ralph Osa dan sejumlah pejabat senior WTO menyoroti dampak yang paling berat akan dirasakan oleh negara-negara di Afrika. Meski beberapa negara mungkin mendapatkan keuntungan jangka pendek dari relokasi perdagangan, ketergantungan pada ekspor tertentu seperti tekstil atau komoditas kakao membuat mereka sangat rentan terhadap perubahan kebijakan global.
Contohnya, Lesotho yang mengandalkan ekspor tekstil senilai USD 240 juta ke pasar AS—sekitar 10% dari PDB-nya—akan terdampak langsung bila hambatan tarif diberlakukan kembali. Ghana dan Pantai Gading juga terancam, mengingat ekspor kakao mereka bisa terganggu dan mendorong penyelundupan lintas batas.
Seruan untuk Diversifikasi dan Reformasi WTO
WTO menyerukan perlunya diversifikasi pasar dan sumber pasokan sebagai pelajaran utama dari krisis perdagangan yang dipicu ketegangan global dan pandemi COVID-19. Okonjo-Iweala menegaskan pentingnya mengurangi konsentrasi perdagangan pada beberapa negara atau kawasan, dan mendorong integrasi ekonomi yang lebih luas—terutama di kawasan Selatan dan benua Afrika.
“Dunia tidak bisa terus bergantung pada beberapa jalur perdagangan saja. Kita harus mendekonsentrasikan perdagangan global dan menyuntikkan dinamisme baru ke dalam WTO,” ujarnya. Ia menambahkan, WTO harus terus diperbarui agar bisa menjawab tantangan zaman, bukan hanya bergantung pada aturan yang dibuat 30 tahun lalu.
Konferensi ini ditutup dengan ajakan agar negara-negara anggota menjadikan krisis ini sebagai momentum reformasi dan kolaborasi. “WTO tetap menjadi forum penting untuk menjaga stabilitas perdagangan global,” kata Okonjo-Iweala.