KONTAN - https://www.kontan.co.id/
Bencana banjir dan longsor besar melanda Pulau Sumatera pada akhir November hingga awal Desember 2025, setelah hujan deras mengguyur selama berhari-hari.
Sedikitnya lebih dari 950 orang dilaporkan meninggal dunia, ratusan lainnya masih hilang, dan lebih dari 770.000 warga terpaksa mengungsi.
Di tengah skala bencana yang masif tersebut, Indonesia justru menolak sejumlah bantuan asing, termasuk bantuan 30 ton beras dari Uni Emirat Arab (UEA) untuk korban banjir di Medan.
Padahal, ada banyak negara-negara Timur Tengah lainnya yang siap memberikan bantuan terhadap korban bencana di Indonesia.
Pada 1 Desember, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman mengirimkan telegram pribadi kepada Prabowo yang menyampaikan duka mendalam, disusul pesan serupa dari Raja Salman.
Ucapan belasungkawa juga datang dari Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani, Sultan Oman Haitham bin Tariq, serta Presiden Iran Masoud Pezeshkian yang bahkan menawarkan pengiriman tim darurat.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang mewakili 57 negara mayoritas Muslim, turut menyerukan dukungan cepat bagi Indonesia. Menurut Middle East Monitor, tawaran tersebut bukan sekadar simbolis.
Uni Emirat Arab (UEA) juga menyatakan bantuan kemanusiaan telah disiapkan. Duta Besar UEA untuk Indonesia Abdulla Salem Al Dhaheri menegaskan, negaranya siap mengirim tim dan logistik segera setelah Indonesia menyatakan keterbukaannya.
Hubungan Indonesia dan Timur Tengah terjalin erat melalui agama, migrasi tenaga kerja, investasi dana kekayaan negara Teluk, hingga kemitraan strategis.
Karena itu, dorongan untuk membantu muncul secara cepat dan tulus. Namun, Pemerintah Indonesia merespons bantaun tersebut secara berbeda.
Pada 5 Desember, Menteri Luar Negeri RI Sugiono menyatakan, bantuan internasional belum diperlukan karena kapasitas dalam negeri dinilai masih memadai.
Pernyataan serupa disampaikan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi sehari kemudian, dengan menegaskan pemerintah memiliki pertimbangan sendiri.
Sikap tersebut menimbulkan tanda tanya di kalangan negara-negara Timur Tengah. Di mata mereka, kebutuhan kemanusiaan sangat besar dan bantuan datang dari negara sahabat tanpa syarat politik maupun kepentingan strategis.
Menurut Direktur Desk Indonesia-MENA di Centre for Economic and Law Studies (CELIOS) Jakarta, Dr Muhammad Zulfikar Rakhmat, negara-negara Timur Tengah dan Afrika Utara bertindak atas dasar belas kasih, solidaritas keagamaan dan kemitraan tulus.
Menurutnya, keengganan Pemerintah Indonesia menciptakan jarak ketidaknyamanan antara niat baik yang tulus dari kawasan tersebut dan perhitungan politik Jakarta yang berorientasi ke dalam negeri.
Salah satu faktor yang ikut membentuk sikap pemerintah adalah isu tata kelola lingkungan.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, seperti Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menyoroti tumpang tindih antara wilayah terdampak banjir dengan konsesi pertambangan, perkebunan, serta kehutanan industri di daerah hulu.
Menurut pemetaan mereka, izin pertambangan, eksplorasi migas, dan perkebunan skala besar berada di kawasan daerah aliran sungai yang krusial.
Aktivis menilai deforestasi, erosi lereng, dan degradasi sungai akibat aktivitas tersebut turut memperparah frekuensi dan intensitas banjir.
Isu ini dinilai sensitif karena sebagian konsesi disebut memiliki keterkaitan historis atau tidak langsung dengan tokoh bisnis yang dekat dengan elite politik, meski klaim tersebut masih diperdebatkan.
Dalam konteks itu, kehadiran tim internasional, mulai dari insinyur, ahli hidrologi, hingga analis bencana dikhawatirkan dapat membuka sorotan global terhadap potensi kegagalan tata kelola lingkungan.
#kontantv #kontan #kontannews
________________________________________