PT PLN (Persero) mengumumkan kebutuhan investasi jumbo sekitar Rp 3.000 triliun untuk merealisasikan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034, dengan target penambahan kapasitas pembangkit yang melonjak menjadi 69,6 GW dibanding 40,6 GW dalam RUPTL 2021–2030. Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menegaskan, skala investasi ini diharapkan memberi efek berganda bagi perekonomian nasional melalui penciptaan lapangan kerja, peningkatan produktivitas industri, dan dorongan pertumbuhan ekonomi, sekaligus menjawab arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan, kesempatan kerja, dan keberlanjutan lingkungan.
RUPTL baru ini menempatkan energi baru terbarukan sebagai tulang punggung, di mana 76 persen tambahan kapasitas berasal dari EBT. Secara rinci, penambahan 69,6 GW terdiri atas 42,6 GW EBT (61 persen), 10,3 GW storage (15 persen), dan 16 GW pembangkit fosil (10,3 GW gas dan 6,3 GW batu bara), yang dibagi dua fase pembangunan: 27,9 GW di lima tahun pertama dan 41,6 GW di lima tahun berikutnya, untuk mendukung proyeksi pertumbuhan ekonomi 8 persen pada 2029. Pengamat energi dari Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, mengingatkan bahwa realisasi rencana ambisius ini akan sangat bergantung pada peran swasta, mengingat skema pembangkit selama ini sekitar 70 persen Independent Power Producer dan 30 persen PLN, serta perlunya dukungan tarif dan pendanaan dari pemerintah dan BPI Danantara. Ia menekankan pentingnya perencanaan yang lebih presisi dan transparan agar tidak mengulang kesalahan kelebihan kapasitas PLTU yang menimbulkan kerugian puluhan triliun, sementara para investor menuntut kepastian jadwal pengadaan dan implementasi; dengan skala dan kompleksitas sebesar ini, apakah RUPTL 2025–2034 akan menjadi lompatan nyata menuju sistem kelistrikan hijau, atau justru tersandera oleh keraguan investor dan tantangan pendanaan?
#PLN #RUPTL2025_2034 #InvestasiListrik #EnergiTerbarukan #TransisiEnergi #DarmawanPrasodjo #Danantara #IPP #KelistrikanNasional #KontanNews